Ada seorang anak, namanya Bambang. Usianya 7 tahun. Karena dia tinggal di kampung yang susah air bersih, maka setiap pagi, bersama Ibu dan kakak-kakaknya, mereka harus berjalan dua kilometer ke sumber mata air, mengambil air, membawa botol-botol besar. Bambang paling kecil, jadi dia hanya disuruh bawa botol yang muat 5 liter. Hanya itulah beban yang harus dibawanya. 5 liter. Karena memang paling mentok botol itu cuma muat 5 liter, kalau ditambah, airnya pasti luber. Berjalan melewati padang rumput kering, jalanan setapak berbatu, tanpa alas kaki, Bambang membawa botol air itu, susah payah. Berat untuk anak seusianya. Tangannya pegal, kapalan.
Dua tahun berlalu, usia Bambang 9 tahun. Kali ini tentu saja botol 5 liter itu terasa ringan, karena dia sudah terlatih bertahun2. Maka Ibunya mengganti botol itu dengan botol air yang muat 8 liter. Bambang naik tingkat. Lagi-lagi diawalnya terasa melelahkan, berat. Tapi Ibunya tahu persis, Bambang pasti bisa. Toh, isi botol itu tidak akan pernah lebih dari 8 liter, karena kapasitasnya memang 8 liter, diisi lebih, pasti luber. Mulailah Bambang membiasakan diri dengan beban baru. Tantangan baru.
Begitu seterusnya, usia 11 tahun, usia 15 tahun. Bambang terus menapaki level lebih tinggi, hingga akhirnya dia bisa membawa botol air lebih berat dibanding Ibunya sendiri, dibanding orang dewasa lainnya. Bambang terbiasa.
Tulisan ini tentu saja tidak akan membahas kesulitan hidup keluarga Bambang. Itu hanya ilustrasi. Karena memang begitulah ilustrasi kehidupan ini, kita selalu diuji dengan beban kehidupan. Manusia akan diuji dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan sebagainya. Itu ditulis dalam kitab suci. Keniscayaan. Tapi juga ditulis dalam kitab suci, bahwa Allah tidak akan memikulkan beban kepada seseorang di luar batas kemampuannya.
Kita semua hidup dengan botol air masing-masing. Maka beban tersebut tidak akan pernah melebihi kapasitas botol tersebut. Pasti. Itulah beban hidup kita. Yang baru tertatih belajar, memahami, diberikan botol air dengan kapasitas yang tepat. Yang sudah tangguh, kuat, diberikan botol air dengan kapasitas yang tepat juga.
Tapi kenapa kadang beban itu terasa beraaat sekali? Karena memang cobaan itu berat, bukan? Janji itu kan menulis: sesuai kapasitas kita. Tidak bilang akan ringan. Jadi kalau memang beraaat sekali, maka berarti Allah menganggap kemampuan kita sudah pantas untuk menanganinya. Sungguh perhitungan Allah tidak akan keliru. Toh, perhitungan Ibu Bambang saja tidak keliru, apalagi perhitungan pemilik semesta alam. Jadi jangan pernah berputus asa, berburuk sangka, apalagi berpikiran pendek mencari jalan pintas. Yakinlah, sama seperti si Bambang, botol air yang kita bawa sudah pas benar dengan kemampuan kita. Kalau dipaksa melebihi kapasitas isi airnya, dia akan luber keluar sendiri. Maka, dengan terus bersabar, terus berlatih, semua akan terasa lebih ringan. Dan kita siap dengan kapasitas botol air baru yang lebih besar.
Hati itu memang seperti lapangan, atau juga seperti kontainer. Kejadian di sekitar kita, ujian, cobaan, keseharian adalah jalan untuk terus membuatnya lapang hingga bisa meletakkan banyak beban, atau membuatnya semakin besar, agar bisa masuk seluruh kesedihan, kesusahan hidup. Siapa orang yang paling lapang hatinya? Tentu saja bukan penulis seperti saya--yang terlanjur memang terbiasa bersilat kata. Orang yang paling lapang hatinya adalah kalian. Kalian semua. Orang-orang yang telah melewati banyak beban kehidupan. Bersabar dan terus bersabar. Pun bahkan bagi seorang remaja, yang meski usianya baru 15 tahun, kita tidak tahu beban kehidupan apa yang telah dia lewati (masalah keluarga, sekolah, dsbgnya), boleh jadi hatinya lebih lapang dibanding orang dewasa lainnya.
Jadi jangan bersedih atas masalah yang kita hadapi. Lewati saja. Percayalah janji Allah. Setapak demi setapak. Selangkah demi selangkah. Persis seperti Bambang yang tertatih membawa botol airnya pulang ke rumah. Kita pasti berhasil. Mungkin demikian.
copas langsung dari note facebook darwis tere liye