Untuk mencapai Ijen ada 2 rute, dari Licin Banyuwangi dan dari Wonosari Bondowoso Rute dari Banyuwangi menuju Licin yang berjarak sekitar 15 km yang dapat dilewati dengan kendaraan bermotor roda dua atau empat selama sekitar 30 menit. Rute ini pernah penulis lalui saat pulang dari Banyuwangi melewati bondowoso mengendarai roda dua, selain jalannya yang rusak medannya susah, (entah saat ini apakah sudah baik jalannya). Dari Licin menuju Paltuding yang berjarak sekitar 18 km melewati jalan yang dinamakan tanjakan erek-erek yaitu berupa belokan berbentuk S dan sekaligus menanjak, perjalanan memerlukan waktu sekitar satu jam.
Rute dari Situbondo menuju selatan (arah Bondowoso) ke pertigaan Gardu Atak Wonosari kemudian dilanjutkan ke Paltuding. Rute inilah yang kita lewati, selain lebih mudah, dan kondisi jalannyapun relatif mulus. Jarak Situbondo sampai Paltuding dapat ditempuh dalam waktu sekitar 2,5 - 3 jam.
Rombongan sampai di Patulding pukul 02.30 dini hari, Udara dingin khas pegunungan sudah mulai terasa, suhu di paltuding menunjukkan 11oC, teman-teman sudah mulai memakai jaket, kaos tangan dan penutup kelapa untuk melindungi butuh dari dinginnya Ijen, setelah membeli tiket masuk, teman-teman langsung berjalan kaki melewati jalan setapak dan tebing kaldera sejauh 3 kilometer menuju Kawah Ijen. Disinilah tantangannya, walaupun hanya berjalan 3Km medannya kebanyakan menanjak, dari 9 orang, 3 orang dari tim kita tidak melanjutkan perjalanannya kepuncak karena tidak kuat, terpaksa penulis yang saat itu berada paling belakang menemani 3 orang tersebut, melanjutkan ke puncak sendiri, beruntung saat itu cuaca cerah dan banyak pendaki, jadi selama perjalanan ke puncak tidak kesepian, banyak bertemu dengan pendaki lain. Selama perjalanan Anda akan disuguhkan keunikan penambang belerang tradisional, alhamdulillah penulis dapat berbincang langsung dengan salah satu penambang belerang tersebut, pada saat penulis beristirahat di POS 1, bertemu dengan satu penambang yang juga sedang beristirahat disana, saat penulis bertanya pukul berapa biasanya beliau mulai bekerja, berapa kali naik turun dan berapa berat beban belerang yang dipikul sampai paltuding?, dengan bahasa madura khas bondowoso yang kental dia menjawab "pokol duwe’ engkok la ongge cong, ngalak belireng, biasana engkok dukali nyambi belireng toron ben arena, sakale toron ye mekol antara 80-90 kilo belireng” (pukul dua pagi saya sudah naik untuk ambil belerang, biasanya saya dua kali membawa belerang turun kebawah, sekali turun memikul sekitar 80-90kilo belerang), saat ditanya lagi ditaruh dimana belerang belerang yang di tambang tersebut Penambang yang usianya sekitar 40th itu menjawab, dibawah sudah ada penampungannya, /kilo harganya 800 rupiah, mangkanya banyak dari kita membuat cindera mata belerang untuk para wisatawan ijen, hasilnya 1 cindera mata model candi bisa laku antara 15-25 ribu rupiah, lumayan lha bisa buat tambahan penghasilan. Penghasilan penambang antara 100-150ribu rupiah tiap harinya, sangat berbanding terbalik dengan pekerjaannya yang sangat berbahaya, mulai mendaki, mencongkel belerang, asap belerang yang memerihkan mata dan paru-paru, dan memikul belerang seberat 90kg turun kebawah. Para penambang ini hanya bermodalkan kain bekas kaos yang dibasahi air sebagai penutup hidung dan mulut saat mencongkel dan mengambil belerang dikawah. Sebuah pelajaran penting yang saya dapatkan disini, Kerja Keras seorang ayah demi menafkahi keluarga
Kurang lengkap rasanya jika kita ke kawah ijen hanya untuk menikmati indahnya Blue fire, dan aktifitas penambang belerang karena dikawasan wisata tersebut juga ada kali pahit yang tak kalah indah, yang letaknya sebelum sebelum paltuding kalau dari arah bondowoso, disebut kali pahit dikarenakan Kandungan sulfur dalam air membuatnya hijau, yang merupakan aliran sungai (kali) dari danau kawah ijen, kali pahit ini bermuara di daerah Asembagus Situbondo.